Pendahuluan
Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang perbankan antara lain adalah paket deregulasi tahun 1983, paket kebijakan 27 oktober tahun 1988, paket kebijakan hanuari tahun 1990, dan paket deregulasi perbankan 29 Mei 1993. Kebijakan tentang deregulasi bidang perbankan ini dilihat dari satu sisi memang mampu menghasilkan banyak kemajuan yaitu pada sisi jumlah bank yang beroperasi. Jika pada tahun 1987 jumlah bank yang beroperasi hanya 111 bank dan terus bertambah mencapai titik tertinggi pada tahun 1995 dengan 240 bank. Namun sejak terjadinya krisis ekonomi pada Maret 1999, pemerintah melakukan kebijakan reformasi perbankan dengan melakukan kebijakan reformasi perbankan dengan melakukan 38 penutupan bank, pengambilalihan 7 bank, rekapitalisasi 9 bank, dan menginstruksi 73 bank untuk mempertahankan operasi tanpa mengikuti program rekapitalisasi sehingga pada tahun 2001 bank yang tersisa berjumlah 151 bank.
Keadaan ini membuktikan bahwa perbankan Indonesia tidak memiliki pondasi yang kuat sehingga ketika terjadi masalah, likuiditas dan solvabilitas langsung jatuh, dengan kata lain perbankan Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Non Performing Loan, yaitu jumlah kredit bermasalah yang meningkat tajam yang mengakibatkan bank harus menyediakan cadangan penghapusan utang yang cukup besar sehingga kemampuan memberikan kredit menjadi terbatas.
2. Likuiditas, yaitu masalah tingginya mobilitas dana masyarakat sehingga bank melakukan rangsangan dengan suku bunga yang tinggi agar dana dapat terhimpun kembali.
3. Negative Spread, yakni kondisi dimana biaya dana lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman.
Akibatnya menimbulkan ketidakpercayaan deposan baik dalam dan luar negeri untuk menanamkan investasinya, akibat yang terjadi adalah capital flight atau pelarian modal ke luar negeri oleh para investor. Laporan keuangan perbankan sangat buruk dengan adanya negative net income dan kewajiban penyediaan modal minimum (Capital Adequacy Ratio-CAR) yang tidak terpenuhi. Implikasi dari ketentuan tersebut adalah bank memiliki batasan dalam melakukan ekspansi kredit yang ditunjukan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR). Batasan dalam melakukan ekspansi kredt akan menyebabkan pertumbuhan bank tersebut semakin lambat, sehingga bank harus memiliki modal yang memadai untuk melakukan ekspansi usaha yang mengakibatkan tambahan aktiva. Hal ini dimungkinkanterjadi dikarenakan adanya risiko-risiko yang dihadapi oleh perbankan seperti risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko suku bunga.
Beberapa waktu lalu Bank Indonesia (BI) melemparkan wacana bahwa dalam waktu dekat perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan akan sedikit diubah di mana dalam rumus perhitungan sebelumnya LDR adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan bank dibagi dengan jumlah DPK (Dana Pihak Ketiga). Dalam rumus LDR baru, yang termasuk loan bukan hanya kredit yang disalurkan bank, namun termasuk obligasi korporasi yang dipegang bank.
Selain itu BI akan memberikan nilai plus bagi sebuah bank yang berhasil menghimpun DPK yang berjangka waktu panjang. Sesuai data BI per Juni 2007, porsi deposito perbankan masih didominasi jangka waktu satu dan tiga bulan yang mencapai 90%. Sedangkan porsi deposito jangka waktu 12 bulan ke atas hanya sebesar 10% saja. Hal ini tentu kurang mendukung harapan masyarakat luas karena perbankan sebenarnya tidak dapat membiayai proyek jangka panjang karena ada persoalan fundamental pendanaan bank yang berpotensi menimbulkan mismatch.
Kembali kepada persoalan LDR, perlu disampaikan di sini bahwa LDR adalah rasio yang pada awalnya digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas bank. Dalam arti apabila LDR di atas 110% berarti likuiditas bank kurang baik karena jumlah DPK tidak mampu menutup kredit yang disalurkan sehingga bank harus menggunakan dana antarbank (call money) untuk menutup kekurangannya. Dana dari call money bersifat darurat, sehingga seyogianya bank tidak menggunakan dana semacam itu untuk membiayai kredit. Dana call money adalah untuk membiayai mismatch likuiditas jangka sangat pendek.
Namun demikian, sejak terjadinya krisis perbankan dan dilanjukan dengan proses rekapitalisasi perbankan tahun 1999 di mana kredit perbankan sekitar Rp 300 triliun dialihkan ke BPPN, maka LDR perbankan langsung merosot drastis karena jumlah kredit berkurang sedangkan jumlah DPK tidak berubah. Begitu rendahnya angka LDR paska rekapitalisasi tahun 1999-2000, akhirnya angka LDR berubah fungsi dan lebih sering digunakan sebagai indikator utama untuk mengukur kemampuan sebuah bank dalam menyalurkan kredit (fungsi intermediasi).
Loan to Deposit Ratio
Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio yang menujukkan seberapa besar pinjaman yang diberikan atau didanai oleh pihak ketiga. Berikut adalah beberapa definisi LDR lainnya.
Kasmir (2003:272) :
“Rasio yang digunakan untuk mengukut komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.”
O.P Simorangkir (2004:147) mengemukakan pengertian LDR sebagai berikut :
“ Loan to Deposit Ratio merupakan perbandingan antara kredit yang diberikan dengan dana pihak ketiga, termasuk pinjaman yang diteruma, tidak termasuk pinjaman subordinasi.”
Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui kaitan antara LDR dengan bank yang terletak pada hal penghimpunan dan penyaluran dana kepada sector rill. Bank dapat mengelola tingkat likuiditasnya yang diukur dengan LDR. Rasio ini mengindikasikan mengenai jumlah dana dari pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Semkain besar LDR suatu bank maka semakin besar pula jumlah kredit yang diberikan oleh bank dibandingkan jumlah dana pihak ketiga dibagi modal inti.
Menurut penelitian yang dilakuakn oleh Nuke Oktriani dengan judul “Pengaruh Capital Adequacy Ratio dan Loan to Deposit Ratio terhadap rentabilitas Bank” membuktikan bahwa tingkat CAR dan LDR mempunyaipengaruh yang signifikan terhadap rentabilitas bank. Penelitian tersebut menggunakan sampel yang terbatas yakni pada empat bank milik pemerintah.
Hubungan antara Loan to Deposit ratio terhadap profitabilitas bank adalah bahwa LDR menunjukan tingkat kesehatan bank apabila bank sehat maka kemampuan bank dalam meciptakan laba akan bertambah. Faktor ekspansi kredit yang ditunjukan dengan rasio LDR sangat penting oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya dengan tujuan untuk memperoleh laba yang didapat dari selisih penerimaan bunga kredit dengan beban bunga simpanan (Spread). Dengan peningkatan dan pengelolaan penyaluran kredit yang baik akan mendorong suatu bank untuk meningkatkan kemampuannya dalam memperolah laba.
Rasio LDR menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah kemampuan likuiditas bank. Loan to Deposit ratio mempunyai peranan yang sangat penting sebagai indicator yang menujukan tingkat ekspansi kredit yang dilakukan bank sehingga LDR dapat juga digunakan untuk mengukur berjalan tidaknya suatu fungsi intermediasi Bank.
Batas aman LDR suatu bank secaara umum adalah sekitar 90%-100%, sedangkan menurut ketentuan bank sentral, batas aman LDR suatu bank adalah 110%.
LDR dapat pula digunakan untuk menilai strategi manajemen suatu bank. Manajemen bank yang konservatif biasanya cenderung memiliki LDR yang relative rendah, sebaliknya manajemen yang agresif memiliki LDR yang tinggi atau melebihi batas toleransi.
Perhitungan Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan perbandingan antara seluruh jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan bank dengan dana yang diteruma bank. Nilai LDR dapat ditentukan oleh bank Indonesia melalui surat edaran Bank Indonesia No. 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 yaitu:
)
Dana pihak ketiga meliputi giro, tabungan, dan deposito teteapi tidak termasuk giro dan depositi antar bank. Equity yang dimaksud adalan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia yang terdiri atas modal disetor pemilik bank, agio saham, berbagai cadanagan laba ditahan berjalan dan laba tahun berjalan.
Perhitungan Giro wajib minimum LDR menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/ 19 /PBI/2010 - Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing (sumber: bi.go.id)
- Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:
- Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%.
- Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%.
- Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target.
- Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%) akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih LDR bank dari batas atas LDR target.
- Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif (saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%
- f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan dievaluasi sewaktu-¬waktu apabila diperlukan.
Pengaruh tingkat Loan to deposit Ratio Terhadap profitabilitas Bank
Fungsi intermediasi bank adalah mendhimpun dana dan menyalurkan kembali dana kepada masyarakat merupakan fungsi yang penting dala perbankan. Untuk mendeteksi fungsi intermediasi tersebut dapat digunakan indicator keruangan Loan to Deposit Ratio (LDR). LDR merupakan perbandingan antara jumlah kredit yang diberikan terhadap jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat. Dalam hal penilaian kesehatan, bank yang sehat adalah bank yang tingkat LDRnya tinggi. Ini berarti bank tersebut cukup aktif dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat.
Profit atau aba merupakan indikasi kesuksesan suatu badan usaha. Selain menjalankan fungsi intermediasi, perolehan laba (profitalbilitas) merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh suatu bank. Rasio profitabilitas merupakan hasil dari sejumlah besar kebijakan dan keputusan manajemen menggunakan sumber-sumber dana bank melalui analisis profitabilitas dapat diketahui efisiensi dan efektivtas suatu bank selama periode waktu tertentu.
Factor ekspansi kredit yang ditunjukkan dengan rasio LDR sangat penting oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya dengan tujuan untuk memperoleh laba yang didapat dari selisih penerimaan bunga kredit dengan beban bunga simpanan (spread). Dengan peningkatan dan pengelolaan penyaluran kredit yang baik akan mendorong suatu bank untuk meningkatkan kemampuannya dalam memperoleh laba.
Indikator-indikator yang memperngaruhi Loan to Deposit ratio (LDR):
a. Tota Loans
Adalah jumlah seluruh pinjaman yang diberikan kepada masyarakat oleh pihak bank.
b. Total Deposit
Adalah jumlah seluruh dana masyarakat yang disimpan di bank.
c. Equity
Adalah modal sendiri atau modal bank.
Penutup
Tidak seperti LDR versi lama yang perhitungannya seragam dan diberlakukan untuk seluruh bank. Dalam LDR versi baru, dari info yang mengemuka di media massa, BI akan menerapkan LDR dengan memasukkan obligasi korporasi sebagai komponen kredit hanya untuk bank tertentu (tidak untuk seluruh bank). Menurut BI, tidak semua bank telah memiliki manajemen risiko memadai untuk bermain obligasi korporasi.
Jika kebijakan ini yang ditempuh tentu ada aspek positif dan negatifnya. Aspek positifnya, pertama, bank kecil akan terhindar dari risiko obligasi yang cukup kompleks, yaitu adanya risiko default (credit risk) dan risiko pasar (fluktuasi harga obligasi akibat volatilitas suku bunga pasar). Kedua, karena kupon obligasi korporasi lebih tinggi daripada suku bunga SBI, diharapkan ke depan, 4
perbankan akan menggeser penempatan pada SBI menjadi obligasi korporasi. Hal ini akan menggairahkan pasar obligasi korporasi yang selama ini belum menjadi investasi utama perbankan.
Apabila SBI perbankan per Juni 2007 sebesar Rp 202 triliun diasumsikan seluruhnya dipindahkan ke obligasi korporasi yang akan meningkatkan angka “Loan”, maka LDR perbankan per Juni 2007 yang semula sebesar 63,57% akan meningkat sebesar 14,91% atau menjadi 78,48%. Angka LDR tersebut akan lebih besar lagi jika obligasi korporasi yang saat ini telah dipegang perbankan juga dimasukkan sebagai komponen “Loan”.
Aspek negatif dimasukkannya obligasi korporasi dalam perhitungan LDR, pertama, nantinya hanya bank besar saja yang akan dapat menikmati peningkatan LDR tanpa harus melakukan ekspansi kredit. Dengan LDR yang tinggi maka bank tertentu akan dapat menjadi Bank Jangkar, Bank Sehat, dapat memperoleh insentif pajak ketika melakukan merger, dan yang akan secara langsung dinikmati adalah berkurangnya GWM terkait dengan perbaikan LDR. Kedua, apabila besanya nilai obligasi korporasi tersebut terjadi akibat adanya pergeseran SBI, maka ada kemungkinan CAR (Capital Adequacy Perbankan) akan merosot karena ATMR SBI = 0, sedangkan ATMR Obligasi Korporasi = 100%.